Selektif Dalam Memilih Guru
Bismillaah,
Ketika kita hendak belajar atau menuntut ilmu, tentu kita tidak bisa asal berguru pada seseorang. Layaknya seseorang yang ingin belajar ilmu kedokteran, maka ia tidak bisa berguru pada sembarang orang, melainkan belajar pada guru atau ahlinya dalam bidang ilmu kedokteran. Dalam perkara ilmu agama pun demikian, kita tidak bisa asal berguru. Harus selektif dalam memilih guru agama karena menuntut ilmu agama bukan hanya berguna untuk kehidupan di dunia saja, melainkan berguna untuk kehidupan di akhirat juga kelak. Memilih guru agama harus serius dan sungguh-sungguh agar kita tidak salah jalan ke depannya. Sangat disayangkan jika kita sudah lama belajar pada seorang guru, akan tetapi ternyata guru itu bukanlah seseorang yang tepat untuk dijadikan sebagai guru. Inilah yang diajarkan al-Qur'an dan as-Sunnah agar kita tidak sembarangan ketika memilih guru dan mengambil ilmu. Muhammad bin Sirin rahimahullaah, beliau mengatakan,
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Al Ilal, 1/355).
Kita juga tidak boleh mengambil ilmu dari seseorang yang belum mapan ilmunya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallaahu’alaihi Wa sallam bersabda,
“Akan datang suatu masa kepada manusia, tahun-tahun yang penuh dengan tipu daya. Pendusta dianggap benar, orang jujur dianggap dusta. Pengkhianat dipercaya, orang yang amanah dianggap berkhianat. Ketika itu ruwaibidhah banyak berbicara”. Para sahabat bertanya, “Siapa ruwaibidhah itu?”. Nabi menjawab: “orang bodoh berbicara mengenai perkara yang terkait urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah no. 3277, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Imam Asy Syathibi dalam kitab Al I’tisham lebih memperjelas lagi makna dari arti Ruwaibidhah dalam hadits ini,
هُوَ الرَّجُلُ التَّافَةُ الحَقِيرُ يَنْطِقُ فِي أُمُورِ العَامَّةِ ، كَأَنَّهُ لَيْسَ بِأَهْلٍ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي أُمُورِ العَامَّةِ فَيَتَكَلَّمُ
“Ruwaibidhah adalah seorang yang bodoh dan hina yang bicara mengenai perkara masyarakat umum, seakan-akan dia ahli dalam bidangnya, kemudian ia lancang berbicara.” (Al I’tisham, 2/681).
Termasuk perkara yang berbahaya jika kita bicara suatu ilmu, namun kita sendiri bodoh terhadap ilmu tersebut. Ahlussunnah meyakini bahwa kita tidak boleh bicara tanpa ilmu karena itu merupakan kesesatan dan akan menyesatkan. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba-Nya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain." (HR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya).
Imam Malik rahimahullah berkata,
“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang :
(1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya.
(2) Shahibu hawa’ (ahlul bid’ah) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya.
(3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan.” (At Tamhid, karya Ibnu Abdil Barr, 1/66, dinukil dari Min Washayal Ulama, 19).
Oleh karena itu, hendaknya kita serius dan bersungguh-sungguhlah ketika memilih guru agama. Tidak bisa sembarang orang dan tidak bisa asal memilih meskipun seseorang tersebut sudah terlihat cukup berilmu dari luarnya. Kita harus lebih teliti dan selektif dalam memilih guru agama agar tidak keliru ataupun salah.
Semoga Allaah mudahkan kita untuk mendapatkan seorang guru yang tepat dalam menuntut ilmu agama dan di dekatkan dengan orang-orang yang berada di atas agama yang benar. Aamiin.
Wallaahu a'lam.
_________________________________
Muroja'ah : Ustadz Aris Munandar حفظه الله
Bandung, 30 Agustus 2020.
Referensi :
[1] Yulian Purnama, 2019. Selektif Dalam Menuntut Ilmu Agama.
[2] Muslim Atsary, 2011. Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu.
Komentar
Posting Komentar